01 Juli 2010

PEMAKZULAN PRESIDEN DALAM SISTEM PRESIDENSIAL

Oleh :Hajriyanto Y. thohari




Salah satu tema perubahan UUD 1945 yang paling menarik perhatian tetapi belum banyak dipahami publik dengan baik adalah mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatanya, atau yang sekarang lebih populer dengan " pemakzulan ". Masih cukup banyak pihak, bahkan tidak jarang dikalangan para penyelenggara sendiridan sementara pengamat politik yang mengira bahwa proses pemakzulan presiden an/atau Wakil Presiden belum pernah berubah, masih seperti yang dulu atau tepatnya masih dalam kerangka UUD 1945 sebelum perubahan.
         Tidak heran jika mereka memiliki pikiran yang cenderung melompat dan akibatnya tidak akurat dalam emebuat analisis tentang pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. disatu pihak memandang bahwa pemakzulan Presiden/Wakil Presiden semata-mata merupakan proses politik belaka, dus sarat dengan subjektivisme politik, dan karena itu memandangnya sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan kaidah negara hukum. Sementara dipihak yang lain ada yang menyatakan bahwa pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden bertentangan dengan sistem presidensial yang masa kerja itu bersifat fix term lima tahun ( UUD 1945 pasal 7 ) sehingga, demikian katanya, pemakzulan tidak boleh dilakukan.

         Padahal pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden tetap dikenal dan malah diatur dalam UUD 1945. Bedannya dengan yang lama, pemakzulan merupakan perpaduan antara dua proses : proses poitik dan , hukum. Tulisan ini mencoba menyajikan prosedur, tata cara dan mekanisme pemakzulan sebagaimana diatur dalam UUD, dam peraturan perndang-undangan lainya secara koprehensif dan diupayakan penyajian apa adanya dengan seminimal mungkin penafsiran.

         Sekali lagi ingin penyusun tekankan bahwa penyusunan risalah ini semata-mata untuk keperluan rakyat dan untuk sosialisasi perubahan UUD 1945 yang nota bene menjadi tugas pimpinan dan seluruh anggota MPR RI sesuai dengan UU no. 27 tahun 2009 tentang MPR DPR DPD dan DPRD.



tentang Sistem Presidensial


          Meski tidak absolut, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( selanjutnya ditulis UUD 1945 ) pada sejatinya menganuta sistem pemerintahan presidensial. Diantara ciri sistem presidensial adalah adanya periode masa jabatan presiden yang pasti (fixed term), yakni lima tahun. UUD 1945 berbunyi: Pesiden dan Wakil Presiden memegang jabatanya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Jadi tidak seperti dalam sistem pemerintahan parlementer, dalam sistem presiensial yang kita anut masa kepresidenan itu bersifat pasti.

         Ciri berikutnya dari sistem presidensial yang kita anut adalah Presiden disamping sebagai kepala negara, sekaligus sebagai kepala pemerintahan atau perdana menteri. Presiden dengan demikian menjadi penjuru dan muara dari semua keputusan strategis yang diambil dinegeri ini. Presiden bukan hanya kepala pemerintahan tertinggi, melainkan juga administrator tertinggi negara. Bahkan sekarang dalam khasanah ilmu ketatanegaraan modern kata pemerintahan mulai ditinggalkan dan lebih sering digunakan kata administrasi : Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya adalah Administrasi Susio Bambang Yudhoyono (SBY Administration)

        Maka yang kemudian berjalan adalah fakta ini: bahwa semua pejabat negara diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan sebuah surat keputusan presiden. ( Keppres ). Anggota DPR, GUbernur, Bupati/WaliKota, boleh saja dipilih rakyat secara langsung dalam pemilu, tetapi keresmian dan keabsahan dalam jabatan-jabatan tersebut pada terminal terakhir tergantung pada Surat Keputusan Presiden alias keppres. Partai politik boleh saja me recall angotanya di DPR karena dituduh indisipliner atau karena dalih apapun sesuai dengan undang-undang, tetapi efektifitas legal formalnya tergantung pada sudah terbit atau belum surat keppres atas pemberhentian tersebut.

        Demikian juga dengan Hakim Agung, Hakim Konstitusi, Panglima TNI dan Kapolri, anggota-anggta komisi negara lainya semacam KPU (komisi pemilihan umum), KPPU ( komisi pengawasan persaingan usaha, KI (komisi informasi), KPI (komisi penyiaran indonesia), KY (komisi Yudisial), bahkan KPK (komisi pemberantasan korupsi) sekalipun, memang mutlak harus dipili dan disetujui DPR. Bahkan boleh saja mereka mesti melalui proses fit and proper test yang mengerikan di DPR kemudian dipilih disana, tetapi tetap saja keresmianya harus disahkan oleh presiden dengan keppres. Walhasil pejabat pejabat komisi yang nota bene merupakan komisi independen yang mewakili publik dan berada diuar pemerintahan ini pun, kesemuanya tetap berada dibawah Administrasi Susilo Bambang Yudhoyono.
        Dengan kata lain Indonesia mengenal dua keabsahan: keabsahan politik dan keabsahan administratif. Keabsahan politik adalah legitimasi yang diraih melalui perjuangan menenangkan hati dan pilihan rakyat atau dari wakil-wakil rakyat di DPR.sementara keabsahan administratif diperoleh dari keputusan presiden . Memang benar kepprs tersebut bersifat besicking dan karena itu bersifat administratif belaka. Tetapi tanpa keppres semua jabatan-jabatan negara tidak akan berjalan efektif, bahkan tidak bisa berjalan sama sekali.tanpa keppres, tugas, fungsi dam wewenang yang melekat dalam jabatan-jabatan tersebut belum dapat dijalankan, dan hak-haknya untuk mendapatkan renumerasi dan hak-hak administrasi lainya untuk menunjang pekerjaanya belum dapat diberikan oeh negara. Tanpa keppres secara administratif nobody dan jabatan tersebut dianggap masih kosong.

TOPIK POPULER MINGGU INI

ide bisnis modal kecil: keripik tempe atm